Tahun ajaran baru pendidikan segera tiba, lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan mulai mempersiapkan diri untuk menerima murid-murid yang bakal menjadi penghuni sekolah. Empat bulan sebelum dimulainya tahun ajaran baru, sekolah-sekolah pavorit telah membuka pendaftaran. Persaingan untuk medapatkan pendaftar sebayak-banyaknya berlangsung secara ketat. Panitia peneriamaan siswa baru mulai sibuk menggencarkan promosi besar-besaran dengan bahasa-bahasa memikat , mulai dari pemasangan baligo di titik-titik strategis, penempelan pamplet di setiap penjuru kota, mencetak ribuan brosur, menyewa space banner iklan di website-website terkenal. Media masa seperti koran, majalah, radio bahkan televisi kerap dijadikan sasaran untuk mengiklankan sekolah tersebut, tak peduli berapa pun tarifnya.
Tentunya ini memerlukan biaya yang sangat tinggi, puluhan bahkan ratusan juta rupiah, terlebih untuk biaya promosi biasanya memakan dana hampir dua pertiga dari keseluruhan anggaran dalam proposal. Namun ini tidaklah menjadi persoalan, terutama bagi sekolah-sekolah favorit karena sekolah mempunyai harapan bahwa uang yang dikeluarkan akan kembali dari biaya pendaftaran setiap calon siswa yang lumayan tinggi.
Walhasil, spekulasi ini meraup keuntungan yang sangat besar, biaya yang dikelurkan tidak sia-sia karena kembali dengan laba yang besar, lelah panitia pun terobati. Sekolah jadi kaya mendadak, kelimpahan berkah agenda tahunan ini. Banyak sekolah-sekolah favorit mendapatkan untung sampai puluhan juta rupiah.
Penomena yang luar biasa, sekolah yang sejatinya adalah lembaga untuk mencetak anak-anak bangsa agar berbudi pekerti yang luhur, berakhlakul karimah, dan menjadi manusia berintelektual, kini sekolah dijadikan mesin pencetak uang. Tidak aneh ketika ada teman saya yang nyeletuk “eh mendingan kita buat sekolah aja, biar cepet kaya.”
Sekolah dijadikan ladang bisnis oleh sebagian orang yang ingin menambah penghasilan, baik guru ataupun karyawan. Sebutan guru ‘diktator’ (jual diktat beli motor) disematkan kepada guru yang suka menjual diktat pelajaran dengan harga tinggi. Ketika dulu di SMP tempat saya belajar, ada banyak guru yang seperti ini. Bahkan suatu kali seorang guru mata pelajaran tidak memberikan nilai ulangan saya hanya gara-gara saya tidak membeli diktat dari beliau. (kasian deh aku…..)
Sudah hal yang lumrah ketika kita berbicara pendidikan, kita akan dibenturkan masalah biaya. Pihak sekolah akan beralasan bahwa pendidikan membutuhkan biaya operasional seperti bangunan, gaji guru dan karyawan, biaya kegiatan siswa, SPP, buku, dll. Memang ini adalah hal yang wajar bagi setiap lembaga sekolah sebagai penopang penyelenggaraan pendidikan. Namun jika biaya operasional ini diada-ada dengan membengkakan anggaran, maka harga pendidikan menjadi mahal dan akhirnya pendidikan hanya akan dinikmati oleh orang-orang yang mampu membayarnya saja. Orang tua yang kurang mampu hanya bisa berangan-angan saja. Banyak mutiara anak bangsa yang tergilas oleh arus kapitalisasi pendidikan ini.
Kapitalisasi pendidikan di negeri ini sudah akut, tidak sedikit sekolah yang sudah tidak lagi mengutamakan mutu pendidikan, sekolah mengalami disorientasi. Orientasi materi mendominasi di belakang megahnya bangunan sekolah. Penyeleksian siswa pun tak lebih sekedar formalitas saja, karena ujung-ujungnya yang lulus adalah anak yang orang tuanya dapat berkontribusi materi paling besar, tnapmenghiraukan kemampuan si anak.
Di sisi lain, ambisi orang tua juga terlalu besar. Orang tua seringkali tidak melihat kemampuan anak. Inginnya, diterima di sekolah favorit untuk menaikkan gengsi. Padahal anak didik tidak punya kemampuan seperti itu. Akibatnya, “uang yang berbicara”. Dampaknya, anak tersebut susah mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya. Kasus “anak titipan” terjadi karena orang tua menganggap bahwa sekolah itu “bisa dibeli”. Tak lain, karena kapitalisasi pendidikan sudah sedemikian akut, bukan hanya masalah buku pelajaran saja, tetapi kasus “anak titipan”.
Namun pada tahun sekarang ini kita digembirakan dengan adanya “sekolah gratis” dari pemerintah yang terwujud berkat adanya kenaikan jumlah biaya santunan BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang di dalamnya termasuk sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), uang penerimaan siswa baru (PSB), biaya ujian sekolah dan juga BOS buku. Alhamdulillah anak-anak bangsa ini bisa mengenyam pendidikan agar mereka bisa andil dalam pembangunan negeri tercinta ini sehingga ibu pertiwi ini akan melahirkan para pemimpin masa depan. Orang tua pun bisa bernafas lega, mereka tidak takut lagi sindrom kapitalisme pendidilkan yang menggurita di negeri yang kaya raya ini.