Headlines :

24/11/08

Home » » Manhaj Aqidah dan Fiqih Ikhwan

Manhaj Aqidah dan Fiqih Ikhwan


"Setiap orang dapat diambil perkataannya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah saw. yang ma'shum (terlindung dari kesalahan). Dan semua yang datang dari para salaf -ridhwanullah alaihim- bila sesuai dengan al-Qur'an dan sunnah kami menerimanya. Namun bila tidak sesuai, maka al-Qur'an dan sunnah Rasulullah lebih kami utamakan untuk diikuti. Namun kami tidak akan melontarkan tuduhan dan
kritikan terhadap pribadi yang berselisih dalam hal ini."

(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)

Manhaj aqidah Ikhwan adalah manhaj salafi murni tanpa kesamaran sedikitpun. Ini jelas terlihat melalui perkataan Syaikh Hasan al-Banna -rahimahullah- dalam al-ushul al-'isyrin.

"Setiap orang dapat diambil perkataannya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah saw. yang ma'shum (terlindung dari kesalahan). Dan semua yang datang dari para salaf -ridhwanullah alaihim- bila sesuai dengan al-Qur'an dan sunnah kami menerimanya. Namun bila tidak sesuai, maka al-Qur'an dan sunnah Rasulullah lebih kami utamakan untuk diikuti. Namun kami tidak akan melontarkan tuduhan dan
kritikan terhadap pribadi yang berselisih dalam hal ini."

Dalam hal ini, Syaikh Sa'id Hawwa memberi catatan: "Tidak ada
'ishmah menurut ahlul haq kecuali al-Quran dan sunnah. Karenanya kesalahan yang terjadi selain dari keduanya adalah masalah yang mungkin terjadi.

"Selanjutnya, pendapat yang dilontarkan oleh seseorang, setelah
Allah dan rasul-Nya, dapat diambil atau ditolak. Termasuk dalam hal ini pendapat para salaf dan para imam. Kami menolak setiap perkataan yang berlawanan dengan al-Qur'an dan sunnah,
siapapun yang mengatakannya.

"Demikianlah, berkata Ustadz Hasan al-Banna-rahimahullah- dalam prinsip ke sembilan: Setiap masalah yang tidak didasari dengan amal perbuatan, maka mendalami masalah tersebut termasuk
Takalluf (memberat-beratkan) yang dilarang oleh syari'at. Termasuk mendalami masalah-masalah cabang (far'iyat) terhadap ketentuan hukum yang belum terjadi."

Syaikh Sa'id Hawwa rahimahullah mengatakan:
"Adab para sahabat radhiallahu'anhum adalah, mereka tidak menanyakan sesuatu yang belum terjadi. Bila terjadi sesuatu, baru mereka mencari hukum Allah tentang hal tersebut.

"Umar radhiallhu‘anhu pemah marah pada seorang yang menanyakan sesuatu yang belum terjadi, sebagaimana diriwayatkan ad-Darimi."

Ada beberapa masalah termasuk bab aqidah yang kita tidak diperintahkan untuk membahasnya. Ada masalah yang termasuk bab fiqh dan kita atau kaum muslimin tidak memerlukannya. Ada pula masalah yang tidak termasuk bab akhlaq, tidak disebutkan oleh al-Qur'an dan sunnah, serta bukan merupakan sesuatu keharusan dalam urusan dunia dan din.

Waktu kita tidak perlu disibukkan terhadap masalah-masalah seperti ini. Karena hal tersebut tidak lain hanya melelahkan jiwa dan akal, serta menyia-nyiakan waktu tanpa manfaat. Bahkan bisa jadi, termasuk dalam akhlaq tercela dari akhlaq mutafashihin (berlebihan dalam kefasihan), mutaqarri'in (berlebihan dalam membaca), mutafaqqihin (berlebihan dalam pemahaman fiqih), yang semuanya
termasuk takalluf yang dilarang oleh syari'at.

Allah swt. berfirman, “Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang yang mengada-ada.” (QS. Shad: 86)

Untuk menjelaskan manhaj Ikhwan dalam hal ini, harus disebutkan dulu sebagian rincian masalah dalam manhaj fiqh.

Manhaj Fikih Ikhwan

Dalam membahas manhaj ini, kami memilih salah satu di antaranya, yakni masalah madzhabiyah. Kami akan menyebutkan sebuah makalah tentang ijtihad dan taqlid yang pernah disebarkan pada
Majalah Ukhuwwah Islamiyyah tahun pertama yang berjudul, "Upaya Pembentukan Sosok Da'i".

Taqlid

"Pengertian taqlid adalah: Menerima perkataan orang lain tanpa disertai upaya mencari dalilnya dari al-Qur'an dan sunnah. Bila ada orang yang bertanya tentang dalil dari keduanya, maka ia bukan
Muqallid (yang bertaqlid). lnilah pengertian yang disepakati semua pihak.

Para muqallid memiliki beberapa dalil, yang mereka yakini sebagai alasan sikap mereka, di antaranya:

Pertama, Firman Allah swt.:
"Maka bertanyalah pada ahlu dzikri bila kalian tidak mengetahui.” (QS. al-Anbiya: 7)

Kita bertanya pada mereka karena kita tidak tahu, sehingga mereka memberi fatwa kepada kita. Atau bahwa taqlid kita terhadap madzhab, sebenarya merupakan upaya meminta fatwa kepada
seorang alim.

Jawabannya: Yang dimaksud dalam lafadz adz-Dzikr adalah al-Qur'an dan hadits. Artinya, wajib menanyakan dalil dari ahli dalil.

Sekelompok orang di zaman Rasul saw. pernah memberi fatwa kepada seorang yang terluka untuk mandi karena janabah. Setelah mandi, temyata orang itu meninggal.

Ketika Rasulullah saw. mengetahuinya, beliau bersabda, "Mengapa tidak cukup baginya bersuci dengan debu melalui tangannya seperti ini," sambil mengisyaratkan tayammum.

Beliau melanjutkan: "Mereka telah membunuhnya. Allah membinasakan mereka. Mengapa mereka tidak bertanya dulu bila mereka belum mengetahui?! Sesungguhnya obat bagi yang tidak tahu adalah bertanya.”

Artinya, mengambil pendapat, tanpa dalil, bagi seorang mufti sama halnya dengan membunuh. Dan keburukan baginya sekaligus bagi orang yang meminta fatwa. Sesuai dengan nash hadits, yang
nanti akan kami jelaskan.

Kedua, Rasulullah saw. bersabda, "Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaurasyidin yang diberi petunjuk setelahku."

“Contohlah orang-orang setelahku Abu Bakar dan Umar.”

Mereka mengatakan, “Kami mengikuti para imam yang mulia sebagaimana kami mengikut khulafaurrasyidin.”

Ketiga, Rasulullah saw. bersabda, "Sahabat-sahabatku adalah seperti bintang, siapapun yang kalian ikuti, kalian akan mendapat
petunjuk"

Mereka mengatakan, "Kami mengikuti para imam sebagaimana kami mengikuti para sahabat."

Keempat, Firman Allah swt., "Ta’atlah kepada Allah dan Rasul dan ulul amri di antara kalian.” (QS. An-Nisaa:59)

Mereka mengatakan, "Yang dimaksud ulul amri adalah para ulama, dan ta'at kepada mereka berarti taqlid pada mereka terhadap yang mereka fatwakan."

Jawabannya: "Yang dimaksud ulul amri adalah pemimpin, ulama, atau kedua-duanya. Taat pada ulama bukan berarti taqlid pada mereka, sebab mereka melarang sikap taqlid, sebagaimana nanti
akan dijelaskan. Maka, ta'at kepada mereka, artinya justeru meninggalkan taqlid kepada mereka."

Kelima, Bila kita membolehkan setiap orang untuk berijtihad, sama saja kita membebani manusia dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Dan akibatnya, kehidupan ilmiyah akan terhenti.

Jawabannya: Sesungguhnya setiap manusia ditetapkan untuk bertanya tentang hukum syari’at yang tetap dalam Kitabullah dan sunnah. Hal itu agar ia dapat mengambil petunjuk agamanya dari
orang yang dapat menolongnya untuk memahaminya, melalui pengetahuan terhadap nash baik secara lafadz atau makna.

Ini lebih ringan daripada memahami sebuah pendapat dengan sangat detail dan rinci.

Prinsip inilah yang ditempuh selama tiga zaman pertama, sebagai zaman yang berpredikat paling baik.

“Sebaik-baiknya zaman, adalah zamanku, kemudian orang-orang yang setelah mereka, dan orang-orang yang setelah mereka.”

Mazhab-mazhab yang empat itu berada pada tiga zaman tersebut. Dan di dalamnya sikap taqlid sama sekali tidak diakui. Adakalanya murid-murid mereka berbeda pendapat dalam banyak masalah. Lagi pula di hari kiamat kelak, seseorang tidak ditanya, "Mengapa anda tidak menyambut perkataan atau pendapat fulan dan fulan?"

Akan tetapi akan ditanya, "Apakah jawabanmu kepada para Rasul?' sebagaimana yang tercantum di dalam firman Allah: Dan (Ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka seraya berkata, “Apakah jawabanmu kepada para Rasul?" (Q.S. Al-Qashash: 65)

Keenam, Sesungguhnya bab ijtihad saat ini telah tertutup dikarenakan tak ada manusia yang memahami al-Qur'an.

Jawabannya: Apakah Allah swt. tidak mampu membentuk manusia yang mampu memahami al-Qur'an? Atau apakah Allah swt. tidak mampu menjadikan al-Qur'an dapat dipahami manusia?

Padahal Allah swt. berfirman, "Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa
turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas." (QSAsy-Syu'ara : 192-195).

"(Ialah) al-Qur'an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa.' (QS. az-Zumar: 28)

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran." (QS. al-Qamar: 17)

"Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu'min yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka
ada pahala yang besar." (QS. al-Isra: 9)

Bagaimana al-Qur'an dapat memberi petunjuk bila tidak dapat di pahami.

Orang-orang Yahudi dahulu pernah mengatakan bahwa kitab Taurat tidak dapat dipahami. Kemudian Allah swt. berfirman: "Dan mereka berkata, "Hati kami tertutup." Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka, maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 88)

Sementara itu Allah swt. memerintahkan kita untuk memahami al-Qur'an kita sebagaimana kita mengetahui anak-anak kita. Orang-orang (Yahudi dan Nashrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri...(QS. al-Baqarah: 146)

Dari sini jelaslah, bahwa pengetahuan tentang Islam selamanya bersandar pada alasan dan dalil.

"...Katakanlah, Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar." (QS. al-Baqarah: 111)

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu..." (QS. an-
Nisaa': 105)

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. al-Isra: 36)

Pengertian taqlid menerima pendapat tanpa upaya mencari alasan dan dalil, tidak dikategorikan sebagai ilmu. Dan setiap muslim yang bertanya tentang dalil dari Kitabullah dan sunnah, ia telah keluar dari lingkaran taqlid.

eramuslim.com


Share this article :

+ komentar + 4 komentar

Anonim
Selasa, 03 Februari, 2009

ini ada pertanyaan klasik mohon dijawab, kalo "kepartaian" itu merujuk ke quran dan sunnah ndak ??

Terimakasih Anonim atas Komentarnya di Manhaj Aqidah dan Fiqih Ikhwan
Anonim
Selasa, 10 Februari, 2009

yang membuat ana heran, kenapa kok IM Indonesia (PKS kali ya..) justru berdemokrasi?

Terimakasih Anonim atas Komentarnya di Manhaj Aqidah dan Fiqih Ikhwan
Kamis, 12 Februari, 2009

maaf neh baru koment
dalam islam kita kenal ijtihad, yang mana hal ini dilakukan jika ada suatu masalah yang status hukumnya belum diterangkan secara hitam putih di dalam alquran dan alhadis. sebagaimana yang dikatakan oleh Muadz bin jabal ketika ditanya oleh rasulullah, dia akan berijtihad kalau ada masalah yang tidak diketemukan dalil dari quran dan sunah. namun tidak sembarang orang bisa berijtihad, ia harus menguasai dulu ilmu agama yang luas. artinya ia harus seorang ulama yang luas ilmunya. ngomong2 soal partai, ini merupakan hasil ijtihad juga karena tidak ada hukum yang jelas tentang partai ini. tentunya ijtihad ini dilatarbelakangi oleh adanya suatu kondisi saat itu. sebagaimana imam syafii kita kenal ada pendapat lama ketika beliau di irak dan pendapat baru ketika beliu di mesir. ternyata yng melatarbelakangi kedua pendapat imam syafii itu adalah kondisi yang berbeda ketika di irak dan di mesir.
di alam sekarang parpol adalah trend bagi negara2 yang mengusung demokrasi dan parpol lah yang bisa menembus gedung parlemen sebagai pembuat undang2 atau aturan sebuah negara. artinya setiap aturan dan kebijakan suatu negara ada di tangan orang2 yang duduk di parlemen ini. jika yang duduk di parlemen ini adalah orang soleh maka kebijakan yang dihasilkan akan baik dan sebaliknya.....
berbicara masalah parlemen ini maka kita akan bersentuhan dengan yang namanya demokrasi. tapi bukan berarti kita setuju dan tunduk kepada demokrasi (ini jelas ga boleh...!). kita hanya memanfaatkan aturan main demokrasi itu. dimana suara satu orang ulama sama dengan suara satu orang preman. bayangkan jika premannya banyak??? tentu preman2 ini akan memenagkan setiap kali voting yang menjadi jargon demokrasi. dan akhirnya akan mengahsilkan undang2 dan pemimpin preman. tentunya kita tidak mengingankan seperti ini. alangkah baiknya kalau preman tadi kita bina menjadi orang soleh yang nanati akn memilih orang2 soleh sebagai wakilnya di parlemen. sehingga parlemen diwarnai oleh orang2 soleh yang akan membuat kebijakan yang baik bagi negara ini.
karena parpol adalah alat untuk menembus parlemen tadi maka kita gunakan parpol sebagai kendaraan orang2 seleh menuju parlemen. dimana mereka akan bertarung membuat kebijakan dengan preman2 parlemen yang hanya mengambil untung dari kursi yang mereka duduki.
itulah partai dakwah yang berjuang bukan untuk mengambil keuntungan dirinya tapi demi kemaslahatan umat dan bangsa ini. allohu akbar

Anonim
Sabtu, 21 Maret, 2009

Menyoal Langkah Menuju Parlemen
Senang rasanya bisa berbagi cerita, ngobrol kesana kemari, Ngaler Ngidul, sekalian tukar pikiran, jejak pendapat dan tentunya dengan satu alasan kita semua berangkat dari Referensi yang valid alias Sohih secara mutawatir. Memang sudang kenyataan, Negara tercinta ini hidup dalam kurun waktu yang penuh dengan lika-liku demokrasi, baik itu beraroma ke Nasionalisan, Kereligiusan bahkan Kemunafikan bagi oknum-oknum tertentu.
Kiranya kita menyadari betul, apa saja langkah-langkah yang ditawarkan hidup ber Demokrasi. dan itulah yang mesti kita renungkan bersama definisi serta aplikasi demokrasi dalam kehidupan bernegara, format demokrasi mana yang akan kita bentuk, karena begitu banyak negara yang sudah mengenal kata demokrasi, justru kondisinya lebih mengenaskan daripada kenyataan yang terjadi di negara kita.
Dari fragmen tadi, sekiranya kita musti berbaik sangka sebentar terhadap nama yang masih fiktif apa itu Demokrasi kaitannya dengan integrasi Kesatuan Negara Indonesia. Mengapa harus Demokrasi yang menjadi referensi kita semua? bukan kah kita sudah bisa menyatakan negara yang sudah lama merdeka.
Tidak perlu berandai-andai untuk sekarang ini, sejauh ini kita belum melihat dari gerak-gerik para elit politik kita, dalam mengejawantahkan apa itu demokrasi, pada kenyataannya ruang bebas ketika kita dihadapkan dalam dunia Ijtihad untuk berjuang atau berkecimpung dalam urusan dunia dengan mengambil cara mengikutsertakan kita untuk bergelut dalam pesta demokrasi.
Memang sah-sah saja, namun perlu diingat spectrum Dakwah dengan niat atau Moto "Menjadikan DPR lebih baik" kiranya tidak dipublish lantaran kita sudah punya kekuatan ijtihad dalam berpartai. coba kita pikirkan kembali, berjuang untuk memberi kemaslahatan tidak saja dengan mengambil alih komando dalam hidup bermasyarakat, tapi kemudian bagaimana langkah real supaya setiap pribadi kita mempunyai tanggungjawab untuk memperbaiki keadaan. sehingga tidak ada wacana, seolah-olah orang yang selama ini duduk dalam kursi yang bermandikan rupiah bahkan dolar adalah orang-orang yang tidak layak kita teladani.
Berat memang, menjaga prasangka baik terhadap seseorang, tetapi mari bersama meluaskan kembali jalan dakwah, dan tidak terpaku dalam kehidupan berdemokrasi, penulis takut ketika kita gagal menembus tembok raksasa yang bertulikan GEDUNG DPR-MPR, sejak itu juga langkah dakwah kita terhenti.
Tentunya, banyak cara yang bisa menjadi alterantif untuk membangun negara ini jadi lebih baik. Bukan saja dengan berpartai, lantas kita menjudgment bahwa kehidupan, kesejahteraan rakyat akan menjadi lebih baik.
Lebih dari itu, ada sedikit kekhawatiran karena kita sudah terlalu candu dengan partai, sudah rindu sekali dengan partai, sudah merasa yakin abhwa dengan berpartailah dengan berdemokrasi lah, dengan menembus DPR RI lah, bahwa hidup kita akan lebih baik.
Saya hanya berharap, teruskan niat baik kita untuk Amr Makruf Nahyi Munkar....., teruskan demi keoptimisan perjuangan dalam membela kebenaran, yakin bahwa kebenaran akan bersinar kembali, yakin bahwa Kekuatan Allah senantiasa terus melindungi orang-orang yang hidup dalam kebersamaan. Semoga, aroma pesta demokrasi ini tidak menjadi satu lantaran kita bercerai berai, kita saling mencemooh satu sama lain, mari kita bangun moralitas dalam hidup bersosial, baik itu dalam berdemokrasi maupun dalam hal lainnya.
akhirnya, penulis kembalkan segala urusan kepada Allah swt Yang Maha Tahu dan Maha Melihat.

Wallahu A'laam
Al Faqiiier ila Allah
ifan_thea@yahoo.com (YM)

Terimakasih Anonim atas Komentarnya di Manhaj Aqidah dan Fiqih Ikhwan

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. sakola agama: Manhaj Aqidah dan Fiqih Ikhwan . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template modify by Creating Website. Inspired from CBS News